Minggu, 10 Juni 2018

Perbedaan Pertanyaan “Kapan Punya Anak” Sesuai Usia Pernikahan



Dalam sebuah acara buka puasa bersama, saya cerita tentang pengalaman saya mengikuti program Bayi Tabung pada seorang teman. Cerita tersebut diakhiri pertanyaan darinya.

“Kalau lo udah usaha sampai segitunya, masih ditanya-tanya tentang kapan punya anak nggak sih, saat Lebaran?”

Saya pun termenung. Iya, saya termenung. Karena benar kata teman saya, yang bertanya kapan punya anak pada saya, emang ikut bayar biaya bayi tabung seharga mobil itu? Atau uangnya bisa dipakai keliling Eropa berdua suami?

Yang bertanya kapan punya anak, emang tau perjuangan sakit saya saat perut biru-biru karena disuntik setiap hari?

Yang bertanya kapan punya anak, emang tau bagaimana cara saya dan suami menata hati kami saat program tersebut gagal?

Nggak kaaaan?


Makanya, buat rekan-rekan sekalian, janganlah kalian bertanya kapan punya anak pada pasangan yang belum dikarunia keturunan. Karena, kami sudah baik-baik saja, tanpa kalian tanyakan pertanyaan yang, ehm, agak menjengkelkan tersebut.

Tapi, saya merenung kembali. Setelah 10 tahun menikah, pertanyaan kapan punya anak pada saya semakin berkembang versinya. Memang sih, pertanyaan masih seputar kapan punya anak juga intinya. Tapi, pertanyaan semakin berkembang lho versinya, gaes.


Nih, beberapa pertanyaan tentang kapan punya anak sesuai usia pernikahan berdasarkan pengalaman saya!

Usia 1 sampai 3 tahun pernikahan

Pertanyaan akan dipusatkan pada “kapan punya anak nih?” Di fase ini jawaban saya lagi beringas-beringasnya. Jawaban mulai dari, “Doain aja” sampai melengos begitu saja saat ada yang nanya sempat saya berikan.

Abis, di fase ini, saya juga kan lagi pengen-pengennya punya anak. Apalagi, melihat sepupu/sodara/kerabat yang baru menikah sebulan, eh udah langsung hamil. Bahkan, ada juga sih, yang belum menikah sudah hamil. Tokcer abis.

Di fase ini ada juga sih, yang melanjutkan pertanyaan kapan punya anak dengan:“Bisa nggak sih, punya anak? Lama banget deeh!”

Jadi, maklum lah yaa kalau jawaban saya beringas.

Usia 3 sampai 5 tahun pernikahan


Di fase ini, yang bertanya mulai “kesel” karena sepertinya saya nggak pengin punya anak, dan penginnya jadi wanita karier aja. Maka pertanyaannya pun, kira-kira seperti ini:

“Ayo, dong, cepetan punya anak. Jangan kerja terus. Makin tua, lho nanti.”

Tanpa diingatkan tentang makin tua pun, saya tau kok, kalau saya semakin tua. Percaya deh. Dan masalah kerja terus. Yaaa, gimana yaaa, saya kan suka banget qerja qeras bagai quda. *qasidahan mode on*

Usia 5 sampai 8 tahun pernikahan

Di fase ini, beberapa orang mulai menyadari kalau saya pengin punya anak, tapi belum dikasih kepercayaan. Pertanyaan kapan punya anak pun berbuah menjadi berbagai saran.

Ada yang menyarankan untuk berobat ke dokter A, dokter B sampai dukun anu, dan dukun ono.

Di fase ini, saya sudah mulai menerima tenang semua “perhatian” yang ditujukan. Maka, jawaban-jawaban pun sudah mulai melunak dan santey. Saya akan menerima saran, ikut mencatat tentang nama dokter yang disarankan, juga mengangguk saja saat ada nama seorang dukun disebut.

Waktu memang membuat manusia lebih tenang. Bijak yaa saya? Ehem.

Oh iya, di fase ini, ada juga yang menyarankan saya agar berdoa lebih khusyuk. Saran untuk membaca doa, surat juga bacaan agar diberi anak juga banyak berdatangan. Dari yang versi manis sampai versi nyinyir seperti: “Belum punya anak yaa? Kurang kali ibadahnya.”

Heeeey, saya ibadah seperti apa nggak harus saya laporkan kali ke situ. Ingin kujawab seperti itu, tapikan saya sudah ditahapan tenang, jadi jawaban saya cuma: “Insya Allah, ibadahnya akan saya tingkatkan lagi.”

Usia 8 sampai 10 tahun pernikahan

Saya sudah sangat tenang di fase ini. Jadi kalau ada yang nanya kapan punya anak, dengan gaya nyinyir, kepo atau gaya apapun, akan saya jawab dengan tenang. “Belum dikasih. Minta doanya ya.” Atau kalau sedang ngasal, “Anaknya lagi kuliah di Amerika. Jadi nggak bisa pulang.”

Dengan ketenangan itu, hadir di acara kumpul keluarga pun menjadikan saya lebih menikmati acara kumpul-kumpul.

Beberapa fase-fase pertanyaan itu tidak semuanya berurutan, kadang ada yang menanyakan kapan punya anak fase usia 5 sampai 8 tahun pernikahan di fase usia 8 sampai 10 pernikahan, begitu juga sebaliknya.

Yang pasti, semua pertanyaan itu akan hadir di setiap acara kumpul keluarga. Saudara-saudara itu mungkin butuh untuk tahu tentang bagaimana kabar kita, mungkin mereka perhatian sama kita, atau mereka hanya ingin membuka percakapan saja.

Jadi, saya sih, sudah masuk di fase tenang dalam menjawab pertanyaan kapan punya anak, bagi yang belum tenang, tetap semangat yaa!Pertanyaan pasti akan berlalu!

Rabu, 30 Mei 2018

Tuang Galon Aqua ke Dispenser, Tugas Istri atau Suami?

Foto: Tribunnews.com

Sebagai manusia yang dibesarkan oleh Keluarga Budi dari buku pelajaran SD, di mana Ayah pergi ke kantor dan Ibu pergi ke pasar, saya menganut sistem urusan rumah dikerjakan oleh istri. Untungnya, saya punya suami yang sangat mau dan tidak perlu diminta bantuan untuk membantu mengerjakan tugas-tugas rumah. Bahkan setelah saya berhenti bekerja kantoran, dan menjadi istri yang menghabiskan hampir banyak waktunya di rumah, suami masih membantu untuk menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring, baju dan pekerjaan rumah lain-lainnya.

Sebagai seorang istri, saya suka merasa bahwa tanggung jawab saya adalah untuk mengurus rumah. Maka, sebisa mungkin, walau seringnya malas, saya membereskan semua pekerjaan rumah sendiri. Yang hasilnya, ya gitu deh, nggak bersih-bersih amat dan nggak rapi-rapi banget.

Tapi, untuk urusan memilih royco atau masako untuk masak, cuci piring pakai sunlight atau mamalemon itu adalah hak saya seutuhnya.

Pekerjaan rumah saya deskripsikan sebagai masak, mencuci piring dan baju, menyapu plus mengepel lantai, lap-lap perabotan, dan lain-lain. Semuanya bisa deh saya lakukan, kalau sedang rajin. Tapi, ada satu (bahkan dua) pekerjaan rumah yang menurut saya harus dilakukan oleh suami. Yaitu, pasang tabung gas dan angkat galon Aqua ke dispenser.

Kenapa harus dilakukan oleh suami? Abis, menurut saya pekerjaan itu terlalu berat dilakukan oleh seorang istri.

Tetapi... tidak semua istri seperti saya. Ada istri-istri tangguh yang bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk angkat galon Aqua dan pasang tabung gas. Untuk istri-istri sehebat ini saya berikan tepuk tangan yang sangat meriah.



Tidak jauh-jauh kok, istri-istri tersebut adalah teman-teman saya sendiri. Teman saya yang tergabung di grup perteman WhatsApp grup pernah bercerita bahwa daripada lama menunggu suami angkat galon ke dispenser, mending ia lakukan sendiri.

Teman lain menyahut, bahwa angkat galon ke Aqua seperti sudah masuk dalam list "pekerjaannya". Ia tidak pernah meminta bantuan suami untuk angkat galon Aqua ke dispenser. Sungguh hebat ya?



Namun sebenarnya, tugas siapakah mengangkat galon Aqua ke dispenser? Tidak ada pakar yang pernah membahas ini. Namun, masalah ini bisa dibicarakan antara suami dan istri. Apabila suami tidak bisa mengangkat Aqua galon ke dispenser, mungkin istri bisa meminta bantuan abang-abang pengantar Aqua untuk angkat Aqua galon. Atau istri bisa membeli alat penyedot air Aqua yang bentuknya panjang itu. Alat ini sepertinya bisa menjadi solusi untuk masalah "Siapakah yang harus menuang Aqua Galon ke Dispenser".

Atau seperti seorang teman bilang, masalah "Siapakah yang harus menuang Aqua Galon ke Dispenser" ini mungkin bisa dijadikan salah satu pasal di perjanjian pra nikah.

Yaa, daripada nanti jadi masalah yekaaaan?



Rabu, 11 April 2018

Berkunjung ke Devoyage, Taman Wisata di Bogor Rasa Eropa




Saya mendengar Devoyage, tempat wisata baru di Bogor dari timeline yang berseliweran di berbagai linimasa media sosial saya. Semuanya positif menyambut bahwa ini adalah tempat wisata baru yang seru.

Saat saya cek lokasinya, kok deket ya dari rumah. Rutenya juga nggak nyusahin. Lokasinya yang berada di kawasan Bogor Nirwana Residence, berdekatan dengan tempat wisata The Jungle, Rumah Air dan Hotel Aston ini membuat saya memutuskan untuk pergi ke Devoyage Bogor naik Grab Car.

Saya pergi di hari Selasa, bersama kakak dan tiga keponakan saya. Keponakan saya yang duduk di bangku SMP dan SD sedang libur karena kakak kelas mereka sedang ujian sekolah menghadapi UAN, sedangkan yang paling kecil, bolos sekolah tingkat TK.

Kenapa saya rela ponakan yang bontot sampe bolos sekolah demi ke Devoyage Bogor, alasan utamanya sih, biar di tempat wisata itu nggak terlalu ramai. Kami jadi bisa leluasa menikmati Devoyage Bogor.

Ternyata... saat sampai ke Devoyage Bogor, terdapat antrian panjang di loket. Wah, yang berpikiran seperti kami ternyata banyak.

Ada aturan yang harus diingat pengunjung saat mau masuk ke area Devoyage Bogor. Yang paling pertama tentu saja harus punya tiket. Saat saya datang, Harga tiket masuk adalah Rp.15ribu untuk weekday sementara Rp.25ribu untuk weekend. Kata petugasnya, ini adalah harga perkenalan sebelum nantinya akan naik menjadi Rp.25ribu untuk weekday dan Rp.35ribu untuk weekend mulai 21 April 2018.

Peraturan satu lagi adalah pengunjung tidak boleh membawa makanan dan minuman dari luar, tanpa kecuali. Peraturannya cukup ketat, soalnya ada petugas yang memeriksa tas untuk melihat apakah ada pengunjung yang menyelundupkan makanan atau minuman ke area Devoyage Bogor.

Ketika masuk, pemandangan pertama yang terlihat adalah miniatur menara Eiffel yang jauh dari meyakinkan. Meski begitu, banyak pengunjung yang tetap heboh berfoto di depan menara Eiffel from Bogor ini.

Masuk lagi lebih ke dalam, terlihat miniatur bangunan-bangunan bernuansa Eropa. Bangunan lucu dan warna-warni ini lumayan bagus dijadikan background foto. Asal pinter-pinter saja cari angle, soalnya pengunjung lainnya juga ingin berfoto. Jadinya, banyak pengunjung lain yang masuk ke frame foto kita.




Website resmi Devoyage Bogor mendeskripsikqn Devoyage Bogor sebagai: “Taman wisata dengan konsep alam eropa terdiri dari bangunan bangunan desa eropa,  miniatur iconic menara Eiffel, KIncir Angin, Kebun Binatang Mini, Rumah Foto,  Rumah Permainan, Rumah Cendera Mata dan naik perahu berkeliling devoyagr di sungai.”

Dengan deskripsi seperti itu, nggak heran sih, aktivitas utama yang dilakukan di taman wisata ini adalah berfoto.




Maka, kami pun ikutan asyik berfoto. Keponakan saya yang SD mulai rewel saat kami masih asyik foto. Wajar sih, udara Bogor kalau siang emang terik banget. Masih sedikitnya pepohonan juga membuat udara siang tambah menyengat. Agar rewel tidak berkelanjutan, kami pun menuju counter es krim. Ternyata, es krimnya belum jadi. Entahlah mengapa. Pilihan pun jatuh pada minuman kemasan dingin yang ada dalam lemari pendingin. Ternyata, minuman tersebut tidak dingin, karena baru saja dimasukan ke lemari pendingin. Yaelah.

Selain minuman yang tidak dingin, harga minumannya juga lumayan mahal. Mengalami kenaikan harga yang lumayan bikin kesel. Yang saya ingat sih, aqua botol dijual dengan harga 10ribu.

Peraturan tidak boleh membawa makanan, tidak diimbangi dengan banyaknya makanan atau minuman yang dijual. Kan jadi kesel ya. Mungkin karena saat saya datang masih tahap perkenalan, jadi belum banyak stand makanan yang terlibat.

Devoyage Bogor sepertinya memang hanya menjual wisata foto atau wisata selfie. Aktivitas lain yang ditawarkan masih minim. Hanya naik perahu keliling “desa” juga permainan labirin yang berada di sebuah ruangan.



Dengan aktivitas foto-foto saja sih, sejam sudah cukup mengelilingi Devoyage Bogor. Untuk yang ingin merasakan nuansa Eropa di Bogor, bolehlah mampir ke Devoyage Bogor. Tapi, buat yang nggak terlalu suka foto-foto, atau anaknya rewel kalau diajak ke tempat wisata yang isinya hanya bisa foto-foto, lebih baik pikir-pikir lagi kalau mau ke Devoyage Bogor.



Alamat Devoyage Bogor: 
Jl Boulevard Bogor Nirwana Residence Mulyaharja Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat 16152

Dekat Hotel Aston BNR dan sebelum Rumah Air. 

Kamis, 25 Januari 2018

Review Film Dilan 1990. Senyum-senyum Karena Iqbaal



Saat berita bahwa cerita dari buku Dilan 1990 akan dibuat film, banyak yang bertanya-tanya siapakah sosok yang akan memerankan Dilan dan Milea, dua karakter utamanya. Pertanyaan berikut yang bergulir, apakah kalimat-kalimat puitis yang diciptakan Pidi Baiq, sang penulis akan tersampaikan dengan baik dalam versi filmnya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya pun berniat untuk menonton film yang turut disutradarai oleh Pidi Baiq di hari pertama penayangannya. Saya pikir akan banyak anak SMP dan SMA yang memadati bioskop. Ternyata, tidak hanya anak sekolahan, anak kuliah, karyawati kantoran juga ibu muda tampak memadati studio.

Tampaknya, para penonton ini adalah penggemar buku Dilan 1990 karena para penonton ini hapal dengan nama-nama karakter dalam cerita Dilan 1990. Tampaknya lagi, mereka penasaran dengan akting Iqbaal Ramadhan, si pemeran Dilan yang sempat menuai pro kontra atas terpilihnya ia sebagai Dilan.

Dibalik semua pro kontra, saya ingin mengemukakan terlebih dahulu, bahwa saya adalah penggemar Iqbaal garis keras. Sejak melihat Iqbaal solat di parkiran mobil saat CJR jalan-jalan ke Amerika di sebuah tayangan, lalu saya melihat Iqbaal solat di studio foto saat CJR berkunjung ke kantor GADIS, saya langsung jatuh hati sama Iqbaal. Meskipun dia terus menerus memanggil saya tante, bukannya kakak selama proses foto. Sedih

Nah, dengan rasa penasaran akan sosok Iqbaal jadi Dilan, maka saya pun mewajibkan diri untuk menonton film ini di hari pertama penayangannya.

                                                
                                                         Foto: Duniaku Network


Bagi yang belum membaca bukunya, cerita Dilan ini diambil dari sudut pandang Milea, seorang murid baru di sebuah SMA di Bandung, pindahan dari SMA di Jakarta. Milea banyak didekati cowok-cowok di sekolah barunya, namun hatinya terpincut pada Dilan. Anak bandel yang suka naik motor, suka berantem tapi lucu, suka mengeluarkan kalimat-kalimat gombal namun romantis, dan suka bertindak aneh-aneh yang berhasil bikin Milea senyum-senyum. Juga saya dan banyak pembaca lainnya.
                                                      Foto: Dok. Falcon Pictures

Filmnya ternyata cukup menyenangkan. Bisa melihat Iqbaal di layar bioskop jelas bikin saya senyum-senyum. Milea juga diperankan dengan pas oleh Vanesha Prescilla yang cantik, manis dan imut.

Setting cerita Dilan ini adalah tahun 1990, filmnya berhasil memperlihatkan setting 1999 dengan baik. Mulai dari baju, mobil, motor dan beberapa hal lainnya. Product placement di film Dilan ini juga lumayan halus. Brand Loop, yang sepertinya menjadi sponsor, terlihat sebagai grafiti di dinding. Tidak maksa, namun terlihat.

Namun, diantara semua hal positif yang saya lihat di film ini, saya kok merasa bosan saat mencapai tengah film. Entah kenapa saya bosan, padahal Iqbaal tetap muncul di layar bioskop yang lebar itu. Chemistry Iqbaal dan Vanesha juga lucu dan terasa pas. Tapi entah kenapa saya merasa bosan. Mungkin karena faktor U. Karena teman nonton saya, keponakan yang usianya 13 tahun girang banget setelah selesai nonton film ini.

Tapi meski bosan, kalau lanjutan film Dilan tayang di bioskop (yup, film ini masih ada lanjutannya), saya sih mau nonton.





Sekian review yang sebenarnya mau saya tulis untuk tulisan di website RiARiA.com, tapi ternyata terlalu banyak opini pribadi, akhirnya saya posting di sini.

Minggu, 29 Oktober 2017

Kelakuan Kids Zaman Old di Belantara Kids Zaman Now


                                  Coba tebak, mana kids zaman old dan mana kids zaman now?


Setelah dua tahun menjalani kehidupan sebagai freelancer, akhirnya pada September 2017 lalu, saya pun mengikatkan diri kembali pada sebuah kantor. Tapi bukan mau cerita tentang kantornya sih, saya lebih mau cerita, bahwa dengan berkantor kembali, berarti kids zaman old ini “bergaul” dengan kids zaman now.

Oke...cerita dimulai ketika kaki saya tiba-tiba sakit. Nggak ada alasan kenapa kaki saya harus sakit. Saya pegang juga tidak ada bengkak juga memar. Saya curhat sama genk di grup WhatsApp. Jawaban mereka menenangkan saya. “Pernah saya juga sakit kayak gitu. Kaki tiba-tiba sakit, nggak bisa dipakai jalan.” “Saya juga gitu. Ini lagi sakit malah.” Dan komentar-komentar lainnya yang menenangkan saya. Alhamdulillah...i’m not alone.

Maka, saya pun ke dokter. Ternyata, disuruh tes asam urat sama dokternya. “Ya Allah, penyakitnya tua banget yaa,” ucap saya dalam hati. Setelah di tes, asam urat saya baik-baik saja. Tapi, kaki saya kena radang otot. Rrr...

Besoknya saya pun ngantor. Ada yang tanya kenapa saya nggak masuk, dan kenapa saya jalan terpincang-pincang. Saya jelaskanlah derita saya plus cerita tentang kecurigaan saya terkena asam urat. Ternyata, muka yang bertanya bingung, dan dengan pelan bertanya, “asam urat itu apa?”
Huft

Cerita lain lagi. Saya ketemu teman seangkatan waktu kerja di Femina Group dalam perjalanan ke kantor. Ketemu teman di perjalanan adalah hal yang menyenangkan, karena saya jadi bisa temu kangen sambil ngobrol. Sambil ngobrol, saya meraih counterpain dari tas saya. “Maaf yaa, ini leher nggak bisa noleh, jadi harus oleh-oles counterpain di leher,” bilang saya. Teman saya mengangguk, sambil meraih ke tasnya dan mengeluarkan Vicks yang langsung dia oleskan ke pelipisnya. Hahaha...ternyata kami saja.

Kids zaman old udah nggak ngarep deh, pakai parfun wangi-wangi. Karena sebenarnya, akan selalu menguar wangi oles-olesan segala minyak atau apapun itu dari tubuh kami.

Lalu ada cerita lain lagi, saat saya terlibat dalam sebuah event. Banyak sekali anak kuliahan yang terlibat dalam event tersebut. Anaknya asyik-asyik banget. Bertanggung jawab dan berjiwa muda (ya iyalah emang mereka masih muda). Kami sedang nongkrong sambil nunggu abang nasi goreng memasak masakan kami. Banyak sekali nyamuk di sekitar tempat kami menunggu. Refleks, saya pun menyanyikan lagu Nyamuk dari Pesta Rap. Ada yang menoleh sambil komentar. “Mbak, lo ngarang lagu yaa.” Saya langsung jawab, bahwa itu adalah sebuah lagu, dari sebuah kelompok rap yang lumayan ngetop ditahun 1990an. Mereka pada tertawa ngakak. “Lucu banget sih, nyamuk kok dijadiin lagu,” komentar salah satunya. Huft (2)

Becandaan yang udah nggak nyambung terjadi lagi ketika ada teman-teman kantor yang duduk berjajar rapi, seperti sedang mau ikut cerdas cermat. Lalu, saya dengan sok lucu berkomentar, “kalian duduk rapi banget. Mau ikut KELOMPENCAPIR yaa.” Bukan tawa, tapi tatapan aneh juga bingung pun menghampiri saya. Huft (3)

Banyak banget sih, generation gap yang saya alami selama berada di belantara kids zaman now. Mulai dari becandaan yang udah nggak nyambung, sampai kondisi badan yang sama sekali udah nggak sama dengan kids zaman now. Tapi, seperti kata sebuah pantun, bila ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Bila ada umurku panjang, boleh kita bertemu lagi.

Pantun banget, nggak nyambung lagi. Yah, namanya juga kids zaman old.



Rabu, 05 April 2017

Ketika Program Bayi Tabung Gagal


Selama mengikuti berbagai program kehamilan, saya merasa kalau bayi tabung adalah yang paling tinggi kastanya, kemungkinannya paling mungkin berhasil, dan kalau menjalani program bayi tabung, udah pasti hamil nih. 
Ternyata...tidak tuh. Program bayi tabung, yang saya jalani Maret 2017 ternyata gagal. Saat dokter memberitahu bahwa hasil test HCG saya rendah, dengan kata lain, program saya gagal. Saya blank. Dokter masih berbicara tentang kemungkinan kegagalan. Dan apa yang harus saya dan suami lakukan bila kami ingin mengikuti program bayi tabung lagi. Dokter bilang tentang jangan patah semangat dan sebagainya.
Tapi, seperti yang saya bilang, saya blank. Pikiran saya kosong. Yang saya inginkan saat itu hanya keluar dari ruang praktek dokter dan pergi entah kemana. Tak sengaja, tatapan saya dan suami bertemu, air mata yang sudah saya tahan, hampir tumpah. Saya tidak mau menangis. 
Sebelum mengikuti program bayi tabung, saya sudah memikirkan kemungkinan terburuk, yaitu: programnya gagal. Apa yang harus saya lakukan. Dan, hal pertama yang saya pikirkan saat itu, saya tidak mau menangis. 
Keluar dari ruang praktek dokter, suami menggenggam erat tangan saya. Lift yang tidak kunjung berhenti membuat kami turun naik tangga. Di tangga, suami memeluk saya erat. Saya balas memeluknya. Tidak terasa air mata mengaliri pipi saya. 
Saya mengucap istigfar banyak-banyak. Dan memikirkan bahwa semua ini karena Allah. Apa yang kita dapatkan adalah yang terbaik menurut Allah. Semua atas kehendak-Nya. Manusia hanya bisa berusaha, dan Allah yang memutuskan, apakah Dia akan memberikannya sekarang, atau menundanya. 
Setelah meyakini hal itu berulang-ulang, saya pun membaca ayat terakhir Surat Al-Baqarah. Isinya adalah tentang Allah yang memberikan pahala bagi orang-orang yang telah berusaha. Di parkiran mobil rumah sakit, saya terus-terusan membaca ayat tersebut. Sementara suami terus menerus menggenggam tangan saya. 
Akhirnya, saya pun pasrah. Saya dan suami pasrah. Karena, apalagi yang harus saya lakukan selain itu. Suami kemudian mengulang perkataan dokter tentang kami yang harus hidup lebih sehat, rajin olahraga, dan tidak patah semangat untuk selalu berusaha. 
Saya mengangguk, dan bertekad dalam hati, untuk tidak patah semangat dalam hal apapun. Bila sekarang, kami masih gagal, kami bersyukur, karena kami tetap memiliki satu sama lain. Dan keyakinan bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. 

Jumat, 03 Februari 2017

Ramen Halal di Osaka ini Enak Banget






Hari kedua di Osaka, saya main puas banget di Universal Studio Jepang. Nggak rela sih, meninggalkan tempat seru itu, apalagi Hogsmead, desa tempat Harry Potter  dan teman-teman hangout  seakan manggil-manggil terus biar saya stay di sana. Tapi, hari sudah malam. Sudah saatnya saya pulang.

Dengan perut lapar dan badan super capek, kami naik kereta menuju apartemen. "Mau makan di mana?" tanya suami. "Yang kuah-kuah enak nih kayaknya," jawabku. 

Kami pun mengeluarkan list makanan yang harus dicoba di Osaka. Ramen Honolu langsung mencuri perhatian kami. "Makan ramen enak nih," kataku. Suami ngangguk dan kami pun memutuskan untuk makan di Ramen Halal Honolu. 

Kami turun di stasiun Namba, berjalan lewat jalanan sepi sekitar 10 menit, kami sudah sampai di Ramen Honolu. Sempet deg-degan, takut restorannya sudah keburu tutup atau last order. Pasalnya saat itu jam sudah menunjukkan jam 8.30 malam. 

Ramen Honolu terletak di jalanan yang lumayan sepi. Sebuah lampion besar warna merah serta banner putih bertuliskan Muslim Welcome terletak depan restonya. Saya pun segera menggeser pintu resto. "Is it still open?" tanya saya. Kedua orang pekerja itu mengangguk. 

Saya dan suami duduk. Lalu kami menunggu menu disodorkan oleh pekerja resto. Tapi, menu tidak datang juga. Saya dan suami pun kasak kusuk ngomong tentang bagaimana nih cara pesannya. 

"Pencet menunya di mesin sebelah sana, mbak." Tiba-tiba si pekerja bicara bahasa Indonesia. Saya kaget. Lah orang Indonesia. Padahal tampang mereka berdua mirip banget sama orang Jepang. 


Akhirnya, kami mencet-mencet menu di sebuah mesin. Konsepnya mirip vending machine, kita masukin uang, pencet makanan yang dimau, lalu keluar deh voucher. Nah, voucher itulah yang kami serahkan pada dua mas-mas yang ternyata orang Jakarta dan Bandung itu. 


Malam itu saya pesan spicy ramen dan suami pesan spicy fried chicken ramen. Sama aja sih, bedanya punya suami pake irisan ayam goreng. Rasanya? Enaaaak bangeeet. Bener-bener seperti ramen Jepang yang saya bayangkan. Hahaha. Semangkuk besar ramen, dengan kuah pedas, irisan ayam, daun bawang serta lembaran nori langsung menghilang dalam perut. Saya dan suami sengaja, makan ramennya panas-panas, lalu menyeruputnya sampai bersuara. Hahaha, ngikutin karakter di drama juga anime Jepang yang sering kami lihat saat mereka makan ramen. 

Kata mas-masnya, Ramen Honolu yang di Osaka ini pusatnya di Tokyo. Dan yang di Osaka ini yang pusatnya ramen Halal. Kalau yang di Tokyo mah haram. Tapi mereka baru buka cabang ramen halal juga di Tokyo. Mereka buka Ramen Halal karena memang hanya pakai kaldu ayam dan sayuran untuk kuahnya. Selain turis muslim, orang Jepang sendiri suka makan di Ramen Halal Honolu ini. Soalnya kuah ayam dan sayur itu lebih segar menurut orang-orang Jepang itu. 

Saya sendiri suka banget makan di Ramen Honolu. Suasana resto yang kecil dan sempit, bikin pengunjung bisa berinteraksi dengan si pekerja yang merangkap koki itu, juga pengunjung lainnya. Ornamen-ornamen Jepang di resto itu pun bikin saya betah. Oh iya, di resto ini tersedia juga tempat solat. Lengkap dengan sarung serta mukena. 


Akhirnya, dengan perut kenyang dan hati senang, saya pun meninggalkan Ramen Honolu dan berjalan kaki menuju apartemen, sambil berharap untuk datang kembali karena rasa ramennya yang belum-belum sudah bikin kangen. 

Oh iya, pesanan saya berharga 900yen, sementara punya suami 1100yen. Nggak terlalu mahal untuk ukuran makanan di Jepang.